Hukum Kopi Luwak
Tanya : Ustadz, apa hukumnya kopi luwak? Bolehkah dijualbelikan?
Jawab : Kopi luwak adalah biji kopi yang telah dimakan oleh luwak atau sejenis musang (Paradoxurus hermaphrodites) yang kemudian setelah keluar bersama kotoran diproses menjadi kopi luwak. Dalam pencernaan luwak terjadi proses fermentasi pada suhu optimal 24-26 derajat Celcius, dibantu oleh enzim dan bakteri tertentu. Proses fermentasi inilah yang menjadikan kopi luwak harum serta memiliki cita rasa enak dan nikmat.
Biji kopi yang keluar bersama kotoran ini masih terbungkus kulit tanduk, yaitu kulit luar yang keras mirip seperti tempurung kelapa. Jadi biji kopi tak hancur dalam pencernaan luwak sehingga sifat biologinya tetap, yaitu ketika ditanam dapat tumbuh.
Proses pembuatan kopi luwak meliputi lima langkah pokok; Pertama, penjemuran kotoran luwak di bawah terik matahari (full sun drying) hingga kadar air tersisa 20 persen – 25 persen. Kedua, pemisahan kulit tanduk dengan cara ditumbuk secara tradisional atau modern agar menjadi greenbean (beras kopi luwak). Ketiga, pencucian dengan air mengalir. Keempat, penggorengan (roasting) secara tradisional atau moderen. Kelima, pembubukan (grinding) untuk mendapatkan butiran kopi yang halus. Demikianlah fakta (manath) kopi luwak dan proses pembuatannya.
Beberapa hukum syara' dapat diterapkan pada fakta tersebut: Pertama, biji kopi luwak yang keluar bersama kotoran bukanlah najis, melainkan mutanajis, yang didefinisikan sebagai benda yang asalnya suci, lalu terkena najis dari benda lain. (Rawwas Qal'ahjie, Mu'jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 309).
Jadi biji kopi luwak ini asalnya suci, lalu terkena kotoran luwak sehingga menjadi mutanajis. Kaidah fiqih menyatakan : al-ashlu fi al-a'yan at-thaharah wa an-najasah 'aridhah. (Hukum asal benda adalah suci, sedang kenajisan bukanlah sifat asli benda). (M. Bakar Ismail, Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah Baina Al-Ashalah wa At-Taujih, hal. 353; M. Az-Zuhaili, Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah wa Tathbiqatuha fi Al-Madzahib Al-Arba'ah, hal. 112).
Kedua, biji kopi mutanajis ini termasuk yang masih dapat disucikan, karena mengalami proses pemisahan kulit tanduk dan pencucian dengan air. Para ulama menyatakan mutanajis ada dua macam; (1) yang dapat dikembalikan pada kondisi aslinya, yaitu suci, dengan membersihkannya dari najis, misalnya baju yang terkena najis, (2) yang tak mungkin disucikan, seperti air susu yang tercampur najis. (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami' li Ahkam Al-Shalah, 1/126; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, 1/241-241).
Ketiga, biji kopi mutanajis ini sifat biologinya tetap dan karenanya dihukumi suci jika sudah dicuci dengan air. Bukti tetapnya sifat biologi adalah jika biji kopi ditanam ia masih dapat tumbuh. Imam Nawawi berkata, ”Jika binatang memakan biji dan keluar dari perutnya secara utuh, maka jika kekerasan biji itu tetap dalam arti jika ditanam akan tumbuh, maka zat biji itu suci. Tapi wajib mencuci bagian luarnya karena ia bersentuhan dengan najis.” (Imam Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, II/573).
Kesimpulannya, kopi luwak hukumnya boleh (mubah) dikonsumsi, dengan syarat dalam proses pembuatannya dilakukan pencucian dengan air.
Menjualbelikan kopi luwak juga boleh, karena sudah menjadi benda suci. Kaidah fiqihnya : al-ashlu anna jawaz al-bai' yattabi'u at-thaharah. (Hukum asal mengenai kebolehan menjual-belikan suatu benda bergantung pada kesucian benda itu). (M. Shidqi Al-Burnu, Mausu'ah Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah, I/34; M. 'Amim Al-Ihsan Al-Barkati, Qawa'id Al-Fiqh, I/47). Kaidah ini berarti jika benda itu suci boleh dijualbelikan, namun jika tak suci (najis) tak boleh dijualbelikan. Kopi luwak sudah menjadi benda suci, maka boleh dijualbelikan. Wallahu a'lam.[]
Sumber : Mediaumat