Hukum Aktivitas Intelijen
Pertanyaan :
Bagaimana hukum aktivitas intelijen menurut Islam ?
Jawab:
Pertama kali harus jelas dulu apa yang disebut dengan aktivitas intelijen. Aktivitas intelijen (tajassus) merupakan aktivitas mengamat-amati atau menyelidiki keterangan/berita seseorang atau sekelompok orang; baik berita yang diamat-amati tersebut tampak atau tersembunyi. Orang yang melakukannya disebut intelijen (jâsûs).
Hukum tajassus berbeda bergantung pada siapa obyek yang diintel. Bila yang menjadi obyeknya adalah kaum Muslim atau kafir dzimmî yang menjadi warga negara maka hukumnya haram. Artinya, mereka tidak boleh dimata-matai. Sebaliknya, bila obyek tajassus itu adalah kâfir harbî, baik kafir yang benar-benar memerangi negeri Muslim dan umat Islam secara fisik (kâfir harbî fi'lan) maupun kâfir harbî yang tidak langsung memeranginya (kâfir harbî hukman), maka dibolehkan bagi kaum Muslim untuk melakukan aktivitas intelijen terhadap mereka. Bahkan, wajib bagi negara (khalifah) melakukannya.
Keharaman melakukan aktivitas intelijen terhadap seluruh warga negara baik Muslim ataupun kâfir dzimmîsecara tegas dinyatakan di dalam QS Al-Hujurat [49]: 12. Dalam ayat tersebut Allah SWT melarang melakukan aktivitas intelijen (tajassus). Frasa wa lâ tajassasû tidak dapat dipahami selain “janganlah kalian melakukantajassus (aktivitas intelijen)”. Adanya penyamaan antara tajassus dengan memakan bangkai sesama manusia yang haram tersebut merupakan indikasi (qarînah) tentang tegasnya larangan tersebut. Artinya, larangan tersebut bukan sekadar makruh melainkan haram.
Ayat tersebut bersifat umum. Karenanya, larangan tersebut mencakup segala macam tajassus, baik dilakukan demi keperluan diri sendiri atau bagi orang lain, baik hal tersebut dilakukan untuk kepentingan negara, kelompok, maupun individu. Begitu pula, sama saja baik yang melakukannya itu penguasa ataupun rakyat.
Hukum asal larangan semua aktivitas intelijen dicakup oleh ayat di atas, baik terhadap warga negara (Muslim atau kâfir dzimmî) maupun kâfir harbî. Namun, ternyata, terdapat pengecualian tentang kebolehan melakukan aktivitas intelijen yang dilakukan oleh kaum Muslim atau kâfir dzimmî terhadap kâfir harbî, baik kâfir harbî fi'lan/haqîqatan maupun kâfir harbî hukman. Bahkan, negara wajib melakukannya terhadap kâfir harbî. Jadi, kebolehan tersebut merupakan pengecualian dari keumuman larangan yang terdapat di dalam surat Al Hujurât [49] ayat 12 tadi.
Di dalam Sîrah Ibn Hisyâm diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengutus Abdullah ibn Jahsy beserta kelompok yang terdiri dari delapan orang dari kalangan Muhajirin. Beliau menulis surat untuknya dan memerintahkannya untuk tidak membaca isinya hingga berjalan selama dua hari. Dalam surat tersebut Rasulullah SAW memerintahkan Abdullah ibn Jahsy melakukan tajassus terhadap kaum Quraisy serta memberinya informasi tentang Quraisy. Namun, beliau memberikan pilihan kepada sahabat-sahabat lainnya untuk menyertainya atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah meminta semuanya melakukan tajassus, tetapi bagi Abdullah ibn Jahsy harus, sedangkan yang lainnya boleh memilih. Ini berarti bahwa perintah bagi amir jamaah hukumnya wajib sedangkan bagi yang lain hukumnya boleh.
Berdasarkan bahasan di atas, tampak bahwa siapapun, termasuk negara, tidak boleh melakukan aktivitas intelijen terhadap warga negaranya. Kalaupun dimaksudkan untuk menjaga keamanan maka tidak boleh dilakukan dengan perkara yang diharamkan, melainkan dilakukan oleh pihak yang menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri, yaitu polisi (syurthah). Sebaliknya, wajib memiliki badan intelijen untuk mengawasi musuh baik negaranya maupun warganya yang sedang berkunjung ke dalam negeri.[]
Sumber : Mediaumat